BPSILHK Makassar

Rumusan Sementara Ekspose Hasil-Hasil Penelitian BPK Makassar Thn 2012 (Tanggal 28 Juni 2012)

Berdasarkan tema seminar dan ekspose “Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea” dengan memperhatikan pengarahan Kepala Badan Litbang Kehutanan, sambutan Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Selatan,  pendapat dan diskusi para pemakalah dengan seluruh peserta dalam sidang-sidang pleno, dihasilkan beberapa rumusan sebagai berikut:

  1. Kegiatan penelitian di daerah selama ini lebih banyak mengakomodir program nasional Kementerian Kehutanan dan kurang menggarap permasalahan kehutanan yang sifatnya spesipik lokal, oleh karena itu keberadaan Balai Penelitian Kehutanan Makassar diharapkan dapat memberikan solusi pada permasalahan kehutanan daerah. Oleh karena itu proses konsultasi dan komunikasi dengan stakeholder di daerah perlu terus ditingkatkan berdasarkan kebutuhan penelitian (research questions) yang tepat.
  2. Undang-Undang nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan telah mangamanatkan bahwa dalam rangka pemberdayaan ekonomi masyarakat, pelibatan masyarakat dalam setiap program pembangunan kehutanan merupakan salah satu strategi Kementerian Kehutanan dalam pengelolaan hutan untuk mencapai kelestriannya  baik dalam bentuk koperasi maupun bentuk Kelompok Tani Hutan. Namun banyak program tidak berkelanjutan setelah proyek selesai disebabkan masih lemahnya modal social (social capital) yang dimiliki dan kurangnya dukungan khususnya pemerintah setempat. Oleh karena itu sangat diperlukan peningkatan modal social pada kelompok masyarakat yang dilibatkan agar dapat berfungsi secara berkelanjutan untuk tetap berfungsi memelihara hasil kegiatan yang telah dilaksanakan.  Faktor modal social antara lain: partisipasi, rasa percaya (trust), kemitraan (Partnership), pembelajaran(learning), kepemimpinan (leadership) dan membangun usaha-usaha komersial kelompok tidak hanya terbatas di bidang kehutanan.
  3. Hutan nipah (Nypa fruticans Wurmb) merupakan sub-ekosistem dari ekosistem hutan payau, tumbuh pada wilayah pasang surut termasuk di wilayah Wallaceae. Pemanfaatan hutan Nipah masih kurang terhadap kesejahteraan masyarakat, karena terbatas hanya sebagai bahan minuman atau cuka. Nira nipah memiliki potensi dimanfaatkan sebagai bahan baku untuk menghasilkan berbagai produk, diantaranya produk nata yang dapat dihasilkan melalui proses fermentasi dengan rendemen rata-rata 86,05%. Nira nipah juga adalah media yang subur untuk pertumbuhan mikroorganisme seperti sel-sel khamir dari genus Saccharomyces. Adanya populasi khamir dalam nira nipah yang masih segar sekitar  1,1 104 koloni/ml.  Walaupun masih perlu kajian skala komersialisasi dan pemurnian lebih lanjut, nira nipah  memiliki potensi untuk digunakan sebagai bahan pengembang adonan roti.
  4. Jenis-jenis pohon penghasil gaharu mempunyai potensi pasar sangat luas dan masih sulit digantikan oleh jenis lain. Walaupun di wilayah Wallacea teknologi produksi gaharu masih menjadi kendala besar, di beberapa tempat di Indonesia telah dikenal beberapa teknik inokulasi pohon gaharu baik teknik tradisional maupun teknik-teknik lain yang dikembangkan oleh beberapa pembudidaya gaharu di berbagai daerah untuk mendapatkan hasil gubal gaharu yang lebih baik dari segi kualitas dan kuantitasnya. Untuk mendapatkan hasil gaharu yang lebih optimal, salah satu inovasi teknologi inokulasi Simpori yang telah diujicobakan pada pohon gaharu budidaya berdiameter 12-15 cm di Pulau Lombok. Walaupun teknologi simpori masih terus dikembangkan karena dipengaruhi variasi faktor tanaman dan iklim, hasil penelitian menunjukkan indikasi pembentukan gubal gaharu relatif cepat dengan  rata-rata panjang dan lebar pembentukan gaharu dari tiga lokasi penelitian adalah sebesar 11,57 cm dan 4,69 cm yang diperoleh selama 5 bulan setelah inokulasi dilakukan. Teknologi simpori dalam inokulasi pohon gaharu merupakan salah satu inovasi terbaik dalam 103 inovasi Indonesia thun 2011 Kementerian Riset dan Teknologi Indonesia.
  5. Jenis pohon eboni (Diospyros celebica Bakh) merupakan salah satu jenis endemik sebagai sumber daya alam hayati yang mendukung proses-proses ekologis di dalam ekosistem di wilayah  Wallacea. Tumbuh pada habitat alami yang spesifik, peka terhadap perubahan dan memiliki sebaran tempat tumbuh yang terbatas, seperti di hutan-hutan Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat dan Sulawesi Tengah. Eksploitasi kayu eboni umumnya masih berasal dari habitat alaminya, karena daur eboni sangat panjang > 100 tahun sehingga belum ada hutan tanaman dan apabila terus dipanen akan terancam punah. Selain itu adanya perubahan sistem fenologi dan tingkat ketahanan hidup rendah menyebabkan eboni termasuk kategori terancam (vurnerable). Upaya konservasi untuk penyelamatan eboni baik kelesatarian maupun keseimbangan ekosistemnya sangat mendesak untuk dilaksanakan, antara lain konservasi eksitu dengan membangun kebun-kebun eboni, kebun raya, kebun benih, kebun konservasi genetic, pengembangan teknik perbanyakan secara invitro, hutan kota, tanaman pekarangan, sebagai pohon peneduh jalan.
  6. Ekosistem mangrove mempunyai peran yang penting baik secara fisik, ekologi maupun ekonomi terhadap masyarakat namun kondisi sekarang khususnya di wilayah Wallacea telah mengalami kerusakan dan memerlukan rehabilitasi agar berfungsi kembali. Keanekaragaman mangrove merupakan kekayaan alam yang dapat dimanfaatkan untuk menunjang kegiatan rehabilitasi kawasan mangrove. Pemanfaatan keanekaragaman jenis mangrove dalam kegiatan rehabilitasi/pemulihan hutan mangrove merupakan suatu tindakan pelestarian jenis yang semakin terancam dengan semakin rusaknya kawasan hutan mangrove. Diharapkan studi jenis-jenis mangrove perlu ditingkatkan untuk program rehabilitasi hutan mangrove.
  7. Pada umumnya kegagalan pemulihan hutan mangrove yang selama ini dilakukan oleh berbagai pihak karena kurang memperhatikan faktor hidrologi dari ekosistem lokasi tempat pemulihan. Berdasarkan informasi dan pengalaman keberhasilan di beberapa tempat maka untuk memulihkan hutan mangrove diperlukan 6 prinsip yang perlu diperhatikan yaitu harus memahami otekologi jenis (outecology) maupun ekosistem lokasi mangrove itu sendiri, mengerti pola hidrologi, memahami sifat-sifat perkembangan jenis-jenis pohon mangrove, memilih situs dan tapak yang layak untuk direhabilitasi, menyusun rencana kerjasama dengan semua pihak, dan melakukan penanaman pada lokasi yang sulit mendapat sebaran alam.
  8. Pengentasan masalah hutan mangrove seyogyanya tidak hanya ditangani oleh instansi kehutanan tetapi melibatkan instansi terkait dan masyarakat (multistakehoders).
  9. Berdasarkan nilai besaran hasil kajian erosi yang diperoleh pada setiap kelas kemiringan lereng pada wilayah DAS Jeneberang ternyata sangat dimungkinkan untuk melakukan penyempurnaan terhadap klassifikasi kemiringan lereng yang digunakan selama ini khususnya di bidang kehutanan dan pengelolaan DAS. Untuk mendapat hasil analisis data yang lebih akurat dalam merencanakan maupun melakukan pemulihan DAS diharapkan penyempurnaan kajian-kajian lainnya.
  10. Penelitian karakteristik biofisik DAS terkait optimalisasi luas hutan terhadap tata air di DAS Kelara, Provinsi Sulawesi Selatan menunjukkan bahwa karakteristik biofisik termasuk jenis tanah, geologi, elevasi, kelerengan, iklim serta sistem pengelolaan yang digunakan, mempengaruhi tata air dalam DAS Kelara. Secara signifikan ditunjukkan bahwa iklim (curah hujan) mampu meningkatkan hasil air sebesar 300% dari musim kemarau ke musim hujan. Ketersediaan air saat ini pada DAS Kelara untuk kebutuhan masyarakat masih mencukupi, namun mungkin akan menjadi masalah seiring perkembangan dan pertambahan penduduk pada masa yang akan datang. Oleh karena itu diperlukan dukungan dari para pihak untuk meningkatkan dan melindungi daya-dukung DAS Kelara sehingga dapat berfungsi sebagai sumber air secara lestari/berkelanjutan.
  11. Masih banyak permasalahan di masyarakat yang masih memerlukan hasil litbang untuk pengembangannya, contohnya: sutera alam, nyamplung, gula merah, hama penyakit mahoni. Untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, Rencana penelitian (Roadmap) pada Badan Litbang dapat disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat di daerah khususnya di wilayah Wallacea.

Tim Perumus :

  1. Ir M.Kudeng Sallata, MSc.
  2. Ir. Agustinus Tampubolon, MSc.
  3. Ir. Achmad Rizal HB, MT
  4. Nurhaedah, SP.,MSi
  5. Retno Prayudyaningsih, S.Si; MSc.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top