(FORDA Makassar, 25 November 2014)_ Ternyata diperlukan waktu 30 tahun untuk memulihkan potensi biomassa karbon pada hutan bekas tebangan. Hal ini terungkap dari hasil penelitian yang dilakukan I Wayan Susi Dharmawan dan Ismayadi Samsoedin, peneliti Puslitbang Konservasi dan Rehabilitasi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Mengambil subyek penelitian di hutan Malinau, Kalimantan Timur, riset yang diterbitkan dalam Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan volume 9 nomer 1 Maret 2012 ini sangat bermanfaat bagi Indonesia, negara ketiga pemilik hutan tropis dunia. Termasuk potensi pengurangan emisi gas rumah kaca untuk mendukung program REDD+, pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan berupa data kandungan karbon tanah yang dihasilkan oleh hutan bekas tebangan di hutan alam.
Hasil analisa riset mengungkapkan, perkiraan potensi biomasa karbon tegakan di atas permukaan tanah di lahan bekas tebangan berusia 5, 10 dan 30 tahun, masing-masing adalah 343,61 ton per hektar, 392,56 ton per hektar dan 498,19 ton perhektar.
Pada usia 5 tahun, hutan bekas tebangan bisa menghasilkan 46 ton karbon per hektar. Di usia 20 tahun bisa menghasilkan 47 ton karbon per hektar. Dan menghasilkan 30 ton karbon per hektar di usia 30 tahun.
“Hanya jika hutan-hutan bekas tebangan yang tersebar di Indonesia ini dapat dikelola melalui manajemen hutan berkelanjutan atau sustainable forest management (SFM), maka kondisinya dapat pulih kembali. Selayaknya hutan alam primer setelah 30 tahun,” kata para peneliti dalam wawancara tertulis.
Dijelaskan lebih lanjut, dengan metode SFM sangat dimungkinkan pengaturan riap dan kondisi tegakan pohon di dalam periode tebangan agar bentuk hutan tetap normal dan biomassa dan kandungan karbon hutan tetap stabil.
Menurut peneliti, untuk mengembalikan potensi biomassa karbon di hutan bekas tebangan sama seperti di hutan alam dalam masa 30 tahun, juga diperlukan acuan aksi pelaksanaan di lapangan.
Aksi pertama adalah melakukan indentifikasi dan pengawasan kandungan biomassa karbon di lahan-lahan kritis di hutan bekas tebangan, untuk dijadikan indikator penilaian manajemen hutan berkelanjutan. Dan kedua, menjadikan indikator penilaian tersebut sebagai syarat utama tercapainya target kandungan biomassa hutan bekas tebangan yang sama dengan hutan alam. (BUGI)***