Upaya pengolahan sampah organik menjadi kompos bukanlah hal yang baru. Demikian juga ide dan implementasi pelibatan masyarakat dalam pengelolaan sampah. Pada intinya kegiatan ini adalah mengubah sampah menjadi berkah bagi masyarakat sekitar. Hal tersebut di sampaikan oleh Ir. Hunggul Yudono S, M.Si, peneliti Balai Penelitian Kehutanan Makassar, Rabu (04/03).
“Dalam kegiatan ini, ide terobosan yang ditawarkan adalah ; 1) pengolahan sampah organik menjadi kompos oleh dan dimanfaatkan untuk kelompok masyarakat penghasil sampah, 2) untuk menunjang penyediaan sayur dan buah secara mandiri serta perluasan ruang terbuka hijau; dan 3) di olah dan dimanfaatkan di tempat dimana sampah itu dihasilkan,” ungkap Hunggul.
Hunggul mencoba menginisiasi model penanganan sampah organik oleh masyarakat secara mandiri. Mengapa sampah organik? Dan mengapa sampah rumah tangga? Data menyebutkan bahwa sebesar 82 % dari sampah kota Makassar merupakan sampah organik dan sisanya yaitu 18 % merupakan sampah anorganik seperti plastik, besi, alumunium, karet dan kaca.
Selain itu, Hunggul mengatakan bahwa 45 % dari total timbulan sampah adalah sampah rumah tangga. Model pengelolaan sampah yang ditawarkan adalah pengelolaan sampah organik berbasis kelompok masyarakat. Kelompok masyarakat yang menjadi target sasaran adalah pemukiman yang terdiri dari 5-10 KK per unit pengelola per satu alat, sekolahan, asrama/pesantren.
“Sampah dikelola dan dimanfaatkan di tempat dimana sampah itu berasal. Pengelolanya adalah kelompok penghasil sampah itu sendiri,” kata Hunggul
Lebih lanjut Hunggul mengatakan bahwa hasil akhir dari pengolahan sampah organik ini adalah kompos. Kompos ini selanjutnya digunakan sendiri oleh kelompok masyarakat pengelola sampah dalam bertanam sayuran, bunga, dan tanaman buah di lingkungannya sendiri.
Latar belakang adanya ide mengubah sampah menjadi berkah adalah adanya persoalan sampah yang merupakan persoalan umum khususnya di kota besar yang tidak mudah untuk ditangani oleh pemerintah. “Sebagai contoh di kota Makassar, produksi sampah di tahun 2013 mencapai angka 550 ton/hari atau setara 4.000 m3/hari. Dengan alokasi anggaran selama ini sebesar 20 milyar rupiah pertahun (dari kebutuhan ideal 200 milyar), produksi sampah sebesar itu tidak bisa ditangani dengan tuntas. Armada pengangkut sampah di kota makassar hanya mampu mengangkut 300-400 ton/hari. Artinya masih ada sekitar 20-40 persen sampah yang tidak bisa terangkut, “ungkap Hunggul.
Sampah yang tidak tertangani kemudian tertumpuk di jalanan, pemukiman, pasar sampai ke badan air seperti kanal dan sungai. Dampak lanjutan yang ditimbulkan adalah kotor, bau, sumber penyakit, saluran air mampet, pendangkalan kanal dan sungai, sampai dengan pencemaran tanah, air tanah dan banjir serta genangan. Selain diakibatkan oleh keterbatasan kemampuan pemerintah kota dalam mengelola, persoalan sampah juga disebabkan oleh rendahnya kesadaran masyarakat dalam pengelolaan sampah.
“Pada persoalan yang lebih riil dilingkungan paling kecil (pemukiman), sampah menjadi persoalan sehari-hari yang terkadang menimbulkan konflik horisontal antar warga atau kelompok warga. Angkutan sampah yang hanya satu minggu satu kali, menyebabkan warga harus menggung aroma tak sedap setiap hari,”kata Hunggul
Penanganan yang sering dilakukan warga secara perorangan adalah membakar atau membuang sampah secara sembarangan jauh dari lingkungannya yang memicu timbulnya dampak negatif lanjutan.
Oleh karena itu, Hunggul menginisiasi kegiatan mengubah sampah menjadi berkah. Kegiatan ini sebenarnya selaras dengan program Revolusi Kebersihan yang dicanangkan oleh Walikota Makassar pada tanggal 15 Juni 2014 dengan tema “Makassar tidak Rantassa” atau Makassar tidak Kotor.
“Rekayasa pendekatan dalam pengelolaan sampah dilakukan oleh kelompok masyarakat baik di komplek pemukiman, sekolah, dan lembaga pendidikan berbasis asrama (pesantren). Sampah yang diproduksi oleh rumah tangga, asrama atau sekolah dikelola sendiri. Di pemukiman, pengelolaan sampah dilakukan oleh 5 s/d 10 rumah tangga. Kelompok tersebut selain sebagai penghasil sampah, juga merangkap sebagai pengelola sampah dan pengguna manfaat hasil pengolahan sampah,” kata Hunggul
Rekayasa alatnya dengan spesifikasi sebagai berikut : 1) Daya tampung sampah :0,28 m3 (volume sampah pada awal masuk ke dalam alat), 2) Kapasitas kompos : 0.2 ton; 3) Lama pengolahan : 2 minggu; 4) Bahan : Drum Oli ; 5) Material sampah : daun, sisa makanan, sisa sayur-sayuran, limbah ternak; 6) Sasaran : pengelolaan sampah rumah tangga; dan 7) Biaya pembuatan sekitar Rp. 1–1.5 juta/unit. Sampai sekarang masih dalam tahap rekayasa untuk menghasilkan unit alat yang lebih efektif dan efisien).
Hunggul berharap tujuan kegiatan ini dapat tercapai yaitu menghasilkan model pengelolaan sampah berbasis masyarakat untuk pengendalian pencemaran dan pengembangan urban farming. Sasaran yang akan dicapai adalah tersedianya rekomendasi model pengelolaan sampah berbasis masyarakat untuk pengendalian pencemaran dan pengembangan urban farming.***(BUG)