Sejalan dengan perkembangan pariwisata global, pariwisata di Indonesia saat ini mengarah kepada kegiatan wisata yang memberikan dampak positif terhadap lingkungan, sosial, budaya, dan ekonomi secara berkelanjutan (Gunawan dan Ortis, 2021). Ekowisata sebagai salah satu model wisata berkelanjutan menjadi pilihan para pelaku wisata karena model ini menekankan pada keseimbangan antara prinsip kelestarian lingkungan, pendidikan, partisipasi masyarakat dan manfaat ekonomi (Soedigdo dan Priono, 2013).
Perhutanan Sosial (PS) merupakan salah satu program KLHK yang berpotensi besar untuk mendukung pariwisata berkelanjutan di Indonesia. Program ini merupakan sistem pengelolaan hutan berbasis masyarakat setempat/adat yang dilaksanakan dalam kawasan hutan negara atau hutan hak/hutan adat (KLHK, 2021). Dari data KLHK (2024), terdapat 23 kelompok PS di Sulawesi Selatan yang memiliki KUPS (Kelompok Usaha Perhutanan Sosial) ekowisata. Sebagian besar (52%) KUPS Ekowisata masuk klasifikasi Perak dengan skema PS terbanyak adalah Hutan Kemasyarakat yaitu sebanyak 13 KUPS (57%).
Merespon perkembangan tersebut, BSILHK telah merumuskan standar khusus pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup (PPLH) bagi usaha ekowisata dalam perhutanan sosial, sebagai safeguard untuk menciptakan harmoni antara manusia dan alam. Standar ini berisikan informasi tentang jenis dampak, serta upaya PPLH dari setiap tahapan kegiatan/usaha ekowisata. Dengan demikian, standar ini diharapkan akan mempermudah kelompok PS menjalankan tanggung jawab ekologisnya, sekaligus memberikan arah bagi instansi terkait dalam menjaga keseimbangan antara pengembangan ekonomi dan kelestarian lingkungan.
Pentingnya Standar Khusus PPLH Perhutanan Sosial Ekowisata
Ekowisata sebagai kegiatan pariwisata yang berwawasan lingkungan memiliki tujuan untuk memberikan peningkatan ekonomi masyarakat dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan. Namun pada kenyataanya, kegiatan tersebut rentan menimbulkan kerusakan atau pencemaran lingkungan. Hal tersebut dapat disebabkan oleh kurangnya pemahaman kelompok terhadap potensi dampak lingkungan dan minimnya pengetahuan kelompok terhadap aspek PPLH.
Dari hasil uji terap standar PPLH terhadap 4 kelompok PS ekowisata di Kabupaten Enrekang dan Luwu Timur, sebagian besar kelompok hanya memahami dampak lingkungan berupa timbulan sampah, namun, hanya sedikit kelompok yang memahami dampak kegiatan terhadap flora fauna, peningkatan kebisingan dan aliran permukaan. Hal ini diperparah dengan kurangnya pemahaman kelompok tentang aspek PPLH. Kondisi tersebut berkonsekuensi terhadap terancamnya kelestarian lingkungan, terlebih kegiatan ini dilakukan di dalam kawasan hutan.
Konsekuensi dari kondisi ini dapat berupa tidak tertanganinya dampak yang ada, munculnya dampak baru, hingga kerugian finansial yang tidak terhindarkan. Sebagai contoh, beberapa kelompok PS melakukan pembakaran timbulan sampah yang dihasilkan dari aktivitas wisata. Tindakan ini, meskipun terlihat sebagai solusi cepat, justru melahirkan dampak baru seperti pencemaran udara, air, dan tanah.
Tantangan Implementasi Standar Khusus PPLH Perhutanan Sosial Ekowisata
Hasil uji terap pada tahun 2024 oleh BPSI LHK Makassar menunjukkan bahwa standar ekowisata telah selaras dengan tipologi ekowisata di Sulawesi Selatan. Harmoni ini tercermin dari nilai deviasi yang rendah, mengindikasikan bahwa standar hanya memerlukan kaji ulang dengan perbaikan minor. Namun, dalam perjalanannya, pelaksanaan standar ini menghadapi tantangan mendasar terkait dengan keterbatasan sumber daya manusia, fasilitas, dan modal.
Kelompok PS, yang mayoritas berprofesi sebagai petani dan tinggal di sekitar kawasan, menghadapi tantangan besar dalam pelaksanaan PPLH. Minimnya pengetahuan, pengalaman, dan akses informasi menjadi penghalang utama. Letak kawasan PS yang terpencil, jauh dari fasilitas seperti mobil sampah, TPS, atau IPAL terpadu, semakin memperumit pelaksanaan pengelolaan lingkungan.
Namun, kendala mendasar dalam pelaksanaan standar ini adalah keterbatasan modal. Salah satu kewajiban entitas usaha dalam Standar PS ekowisata adalah mengelola dampak berupa peningkatan aliran permukaan. Dalam ekosistem pegunungan, di mana sebagian besar kawasan PS di Sulsel berada, pelaksanaan kewajiban tersebut memerlukan infrastruktur konservasi tanah dan air yang memakan biaya besar dan membutuhkan keahlian terentu.
Upaya dan Harapan Kelestarian Lingkungan Dalam Perhutanan Sosial
Dalam upaya menjaga kelestarian lingkungan melalui PS, diperlukan langkah strategis yang berpijak pada dua pilar utama yaitu fasilitasi dan penguatan regulasi. Fasilitasi dapat dimulai dengan sosialisasi kepada kelompok tentang potensi dampak dan aspek PPLH dalam standar khusus PS Ekowisata. Selain itu, pelatihan dan pendampingan secara berkala perlu dilakukan untuk menjamin effektifitas dan efisiensi pelaksanaan standar. Dalam pelaksanaan fasilitasi, sinergi antara pemerintah dan swasta sangat diperlukan dalam tahapan fasilitasi. Pendekatan ini tidak hanya membangun kapasitas kelompok dalam melakukan PPLH, tetapi juga membuka akses pendanaan swasta melalui Corporate Social Responsibility (CSR) atau program pemerintah seperti Creative Financing untuk Lingkungan Berkelanjutan.
Sementara itu, penguatan regulasi menjadi landasan yang memperkokoh fungsi standar. Hal ini dapat dilakukan dengan mengintegrasikan standar ke dalam Rencana Kerja Perhutanan Sosial (RKPS), menghadirkan inovasi dalam pelaporan kewajiban PPLH, dan sinergitas pengelolaan sampah. Dengan langkah ini, pengawasan dan pengelolaan lingkungan menjadi lebih efektif serta upaya pelestarian lingkungan menjadi komitmen nyata yang mendekatkan manusia pada harmoni dengan alam, melampaui sekadar pemenuhan kewajiban.
Keberhasilan penerapan dan pengawasan pelaksanaan standar khusus PPLH Perhutanan Sosial Ekowisata dapat menjadi titik terang dalam pengembangan wisata berwawasan lingkungan di Indonesia. Standar ini dapat menjadi embrio pengembangan kebijakan wisata pada kawasan hutan lainnya seperti kawasan konservasi. Ke depan, standar ini juga dapat membantu transformasi sosial, budaya, dan ekonomi masyarakat sekitar kawasan hutan ke arah yang lebih baik dan berwawasan lingkungan.
Penulis : Bayu W Broto – PEH Ahli Muda BPSI LHK Makassar
Referensi:
Gunawan, M. & Oliver, O. 2012. Rencana Strategis Pariwisata Berkelanjutan dan Green Jobs untuk Indonesia. Jakarta: International Labour Organization.
KLHK. 2024. Daftar Kelompok Usaha Perhutanan Sosial. Diakses pada tanggal 23 September 2024.https://gokups.menlhk.go.id/
KLHK. 2021. Peraturan Menteri LHK No. 9 Tahun 2021. Tentang Pengelolaan Perhutanan Sosial. Jakarta.
Soedigdo, D. & Priono, Y. 2013. Peran Ekowisata Dalam Konsep Pengembangan Pariwisata Berbasis Masyarakat Pada Taman Wisata Alam (TWA) Bukit Tangkiling, Kalimantan Tengah. Jurnal Prespektif Arsitektur, 8(2), pp.1–8.