BP2LHK Makassar (Maros, 28/02/2017)_Saat ini, seluruh staf Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BP2LHK) Makassar tengah berbahagia. Hal ini disebabkan karena pasangan Tarsius makassar atau yang biasa dikenal dengan nama latin tarsius fuscus yang dipelihara di kandang pengamatan semi-alami di Pattunuang Assue-Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung Kabupaten Maros, telah berhasil melahirkan seekor bayi yang berada dalam kondisi sehat.
“Bayi Tarsius makassar tersebut saat ini telah berusia sekitar tiga minggu dan berukuran sebesar telur ayam kampung (± 4 cm). Meskipun masih terlihat sangat mungil, namun pada usia seperti ini, bayi Tarsius makassar telah mampu berpegangan pada ranting pohon dan memanjat ranting pada jarak beberapa puluh centimeter”, kata Indra salah seorang peneliti BP2LHK Makassar di lokasi penelitian di kandang pengamatan semi-alami di Pattunuang Assue-Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung Kabupaten Maros, pada Minggu (12/02).
Waktu kelahiran bayi tarsius makasasar tidak dapat dipastikan dengan jelas, karena ketika akan melahirkan induk tarsius bersembunyi, jelas Indra.
Selain itu pada usia tiga minggu seperti ini, untuk kebutuhan tumbuh kembangnya, bayi Tarsius makassar tersebut tidak hanya bergantung dari susu induknya saja, melainkan telah mulai diajari untuk mengkonsumsi pakan tambahan berupa potongan tubuh belalang oleh induknya, tambah Indra.
Disisi lain, Supardi, salah seorang teknisi BP2LHK Makassar menyatakan bahwa induk Tarsius makassar mempunyai cara yang unik untuk memberikan pakan pada anaknya. Saat mencari makan induk Tarsius makassar akan meninggalkan anaknya bertengger sendirian di ranting pohon dan mulai berburu mangsanya.
Setelah mendapatkan mangsa yang umumnya berupa belalang, induk Tarsius makassar akan membawa belalang kembali ke tempat anaknya bertengger kemudian mencabik-cabik belalang dan memberikan potongan tubuh belalang tersebut ke anaknya, jelas Supardi.
Tarsius makassar merupakan salah satu spesies yang telah dilindungi oleh pemerintah. Satwa endemik Sulawesi ini sebarannya hanya terbatas pada Sulawesi bagian barat daya. Satwa ini terpilih menjadi ikon penelitian untuk dapat dikembangkan sebagai daya tarik wisata baru di kawasan konservasi, seperti Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, dalam rangka mendukung program pemerintah untuk mengembangkan pariwisata di kawasan konservasi. Pemilihan ini lebih didasarkan pada kenyataan bahwa selain faktor keunikan dan keindahan, adanya embel-embel langka dan dilindungi seringkali lebih dapat menarik perhatian wisatawan.***(Tim Web)