BP2LHK Makassar – Tim Peneliti ACIAR – BP2LHK Makassar telah melaksanakan workshop pada Rabu, 18 November 2020 di Hotel Dalton Makassar. Kegiatan yang dihadiri beberapa elemen masyarakat tersebut bertemakan “Foresight Analysis” Tinjauan ke Masa Depan – Pengelolaan Hutan Rakyat di Sulawesi Selatan, dan berlangsung secara hybrid offline dan online (siaran ulangnya dapat disaksikan di Youtube BP2LHK Makassar).
Ir. Turbani Munda, M.Hut mewakili Kepala Balai Litbang LHK Makassar membuka kegiatan tersebut dan berharap kegiatan ini berlangsung dengan baik dan lancar. Tim Peneliti ACIAR – BP2LHK Makassar terdiri dari Ir. Achmad Rizal HB, MT, Nur Hayati, SP, M.Sc, Nurhaedah, SP, M.Si, Dr. Indah Novita Dewi & Dr. Abd. Kadir.
Target capaian workshop adalah mendapatkan gambaran, pengalaman berupa informasi mengenai pengelolaan hutan berbasis masyarakat selama ini, sesuai peran dan kapasitas masing-masing. Peserta yang hadir terdiri dari 6 unsur yang terdiri dari: Masyarakat, Birokrat, Akademisi, Swasta, LSM, dan praktisi dihadiri 10 orang yang diharapkan dapat mewakili semua stakeholder pengelolaan hutan berbasis masyarakat.
Dr. Dede Rohadi dari tim ACIAR Bogor bertindak sebagai fasilitator pada workshop tersebut, melalui aplikasi zoom. Beliau menyampaikan perlunya meninjau ke masa depan hingga sepuluh tahun ke depan, dengan menelaah apa yang terjadi tiga puluh tahun di belakang. Refleksi berbagai permasalahan kehutanan mulai tahun 1990 dan perkiraan di tahun 2030 dicoba untuk digali dari peserta workshop melalui sudut pandang masing-masing elemen yang hadir.
Dengan berlangsungnya kegiatan ini, diharapkan mampu menghimpun pandangan dan pendapat dari stakeholder tentang bagaimana keberlanjutan usaha kehutanan berbasis masyarakat di Sulawesi Selatan di masa depan. Apa kira-kira yang prospektif untuk ditanam dan apa yang harus disiapkan atau diperbaiki mulai sekarang.
“Petani bisa saja tidak perlu merencanakan dan tidak perlu mengantisipasi masa depan, tetapi itu akibatnya sangat rentan terhadap ancaman juga terhadap kerugian. Petani jadi kurang bisa memanfaatkan potensi dan manfaat yang sebenarnya terbuka. Itulah pentingnya foresight. Tinjauan ke masa depan dapat dikatakan seperti ramalan, tapi menggunakan akal pikiran dan pengalaman dan melihat apa yang terjadi di masa lalu dan berkembang di hadapan kita,” jelas Dede Rohadi.
Lebih lanjut Dede menjelaskan bahwa yang diinginkan adalah mengembangkan masyarakat atau petani hutan yang mempunyai kebijaksanaan atau wisdom. Kebijaksanaan berasal dari wawasan dalam hal hindsight (masa lalu) + insight (masa kini) + foresight (masa depan).
Workshop berlangsung sangat menarik sepanjang pagi hingga siang hari. Semua peserta antusias menyumbangkan pendapatnya masing-masing. Muhammad Aras, wakil penyuluh dari Kabupaten Gowa menyampaikan fakta bahwa sejak tahun 1990 hingga saat ini, banyak terjadi alih fungsi lahan karena petani menganggap tanaman kehutanan tidak prospektif dan menggantinya dengan tanaman semusim. Kalaupun menjual kayu, maka harganya sangat rendah atau tidak ada pasar yang mau membeli.
Tandi Baso dari Katingan Timber Celebes (KTC), menyampaikan bahwa perusahaannya sebenarnya menerima kayu rakyat sepanjang kayu tersebut memenuhi standard industri. Namun Tandi menyayangkan usaha kayu rakyat yang pada umumnya dilakukan secara bisnis kecil, dan tidak mampu memenuhi kebutuhan industri baik dari segi kualitas maupun kuantitas.
Peserta dari LSM yaitu dari Sulawesi Community Foundation (SCF), Ahmad Naufal, menyampaikan bahwa sebenarnya jika difasilitasi dengan baik, maka petani mampu berbuat lebih. Hal ini dicontohkan dengan program pendampingan masyarakat yang sedang dilakukan oleh SCF di Luwu Timur. Sebanyak tujuh unit kelompok pengelolaan kayu rakyat setingkat kecamatan difasilitasi untuk menanam tanaman kayu, sekaligus mengolahnya dalam industri skala kecil.
Khadijah Munirah dari Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Selatan menguatkan pendapat Tandi Baso maupun Ahmad Naufal, dengan mengatakan bahwa memang diperlukan peningkatan kapasitas petani untuk dapat menjadi aktor utama dalam pengelolaan kehutanan berbasis masyarakat ini.
Mengakhiri workshop, Dede Rohadi menyampaikan resume sementara sebagai berikut: Sejak tahun 1990, kehutanan berbasis masyarakat (baik hutan milik maupun hutan negara yang dikelola rakyat) mengalami perkembangan yang bervariasi. Di satu sisi terjadi peningkatan animo masyarakat untuk berbisnis kehutanan kayu (misalnya sengon dan jati di Jawa), tapi di sebagian besar wilayah lainnya terjadi alih fungsi lahan dari areal hutan menjadi areal pertanian karena dianggap lebih menguntungkan. Kecenderungan alih fungsi sepertinya akan terus berlangsung sampai 10 tahun ke depan. Yang dapat mengubah kondisi ini adalah pasar yang dinamis karena masyarakat cukup merespon perubahan pasar.
Harapan akan bisnis kehutanan ditempatkan pada program Perhutanan Sosial yang targetnya sangat tinggi, dan respon masyarakat juga bagus. Yang perlu digarisbawahi adalah target atau luasan itu bukan segalanya. Lebih baik kualitas pengelolaannya yang ditingkatkan. Perlu sinergitas antara sektor pemerintah tidak hanya sektor kehutanan. Peningkatan kapasitas perlu dilakukan oleh semua pihak, termasuk pendidikan usia dini terkait pengelolaan hutan.***IKI