Perhutanan sosial (PS) merupakan strategi tata kelola formal di mana hak atas sumber daya dan tanggung jawab pengelolaan hutan dialihkan kepada kelompok pengguna yang paling dekat dengan hutan. Program Perhutanan Sosial sendiri bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pola pemberdayaan dengan tetap berpedoman pada aspek kelestarian. Perhutanan Sosial dikelola dalam lima skema, yaitu Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Desa (HD), Hutan Adat (HA), dan Kemitraan Kehutanan (KK). Masyarakat diberi akses legal oleh negara berupa persetujuan pengelolaan Perhutanan Sosial untuk mengembangkan usaha Hasil Hutan Kayu (HHK), Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK), pemanfaatan kawasan dan jasa lingkungan (jasling) berdasarkan kearifan lokal dan adat istiadat setempat. Jangka waktu untuk mengelolanya, selain hutan adat, adalah 35 tahun dan dapat diperpanjang (Kementerian LHK, 2016).
Salah satu kegiatan pengelolaan Perhutanan sosial adalah pemanfaatan HHBK yang dilakukan di hutan produksi dan pemanfaatannya meliputi rotan, sagu, nipah, bambu, getah, madu, aren, daun, dan buah atau biji. Kegiatan pemanfaatan ini tentunya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal yang bergantung pada sumber daya hutan. Selain itu, pemanfaatan HHBK secara berkelanjutan juga dapat meningkatkan kesadaran lingkungan dan keterlibatan masyarakat dalam pelestarian hutan. Dengan demikian, pengembangan HHBK dalam program Perhutanan Sosial tidak hanya memberikan manfaat ekonomi, tetapi juga berperan penting dalam pelestarian lingkungan.
Berdasarkan data pada gokups.menlhk.go.id, areal Perhutanan Sosial di Sulawesi Selatan dikelola oleh 1.469 kelompok usaha perhutanan Sosial dari luas kawasan perhutanan sosial 206.982,44 Ha dan melibatkan 74.222 KK. Di setiap kelompok perhutanan sosial, sebagian besar berpotensi terdapat usaha dan/atau kegiatan pemanfaatan HHBK.
Gambar. Foto komoditi kelompok Perhutanan Sosial di Kab. Enrekang
Kegiatan pemanfaatan HHBK berpotensi menimbulkan dampak terhadap lingkungan hidup yang dimungkinkan terjadi pada kegiatan penyiapan lahan dan penanaman, pembangunan fasilitas utama serta sarana penunjang, pemeliharaan tanaman, pemanenan HHBK, penyimpanan HHBK, dan pengemasan produk yang dapat berdampak pada kondisi lingkungan dan flora fauna. Oleh karena itu diperlukan suatu standar khusus pengelolaan dan pemantauan dampak lingkungan hidup untuk usaha dan/atau kegiatan perhutanan sosial yang dapat menjadi rujukan dalam penyusunan dokumen Rencana Kelola Perhutanan Sosial (RKPS) oleh Kelompok Perhutanan Sosial.
BPSILHK Makassar pada tahun 2024 mengemban tugas untuk melaksanakan kegiatan pemantauan dan uji terap Standar Pengelolaan Lingkungan Hidup untuk usaha dan/atau Kegiatan Perhutanan Sosial: Pemanfaatan HHBK, di Sulawesi Selatan. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk melihat keberterapan standar pada entitas penerap yang disusun oleh BSILHK sebelum standar tersebut ditetapkan oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Kegiatan uji terap standar yang dilaksanakan oleh BPSILHK Makassar dilakukan terhadap 9 (sembilan) entitas kelompok Perhutanan Sosial di empat kabupaten yang berada di Provinsi Sulawesi Selatan yang disajikan pada tabel 1.
Tabel 1. Entitas Penerap Standar/Kelompok Perhutanan Sosial
No | Nama Entitas | Kabupaten | KUPS | Skema |
1 | KTH Bawakaraeng | Bukumba | Kopi | HKm |
2 | KTH Sipatuo | Bukumba | Gula Aren | HKm |
3 | KTH Tamalasaya | Bukumba | Kopi | HKm |
4 | KTH Mattirobulu | Bukumba | Kakao | HKm |
5 | KTH Pattoengan | Bukumba | Porang | HKm |
6 | KTH Cemapaka Indah | Bantaeng | Pangi | HD |
7 | KTH Bukit Seyum | Jeneponto | Sukun | HKm |
8 | KTH Julu Boritta | Jeneponto | Jambu Mente | HKm |
9 | Gapoktan Bubun Bila | Enrekang | Kopi | HKm |
Gambar. Foto bersama KKPH Kelara dan ketua kelompok Perhutanan Sosial
Hasil kegiatan uji terap menunjukkan bahwa secara umum standar yang disusun mudah dipahami oleh entitas. Bahkan sebagian besar poin-poin yang terdapat di dalam standar juga telah dilakukan oleh entitas. Dengan adanya standar ini diharapkan dapat memberikan panduan bagi entitas dalam menyusun dokumen RKPS dan juga dalam melakukan pemantauan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Standar ini sudah ditetapkan oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia. Jika tertarik dengan standar ini dapat dilihat pada link berikut https://makassar.bsilhk.menlhk.go.id/nspk/
Penulis :
Andarias Ruru, S.Hut
PEH Ahli Muda BPSILHK Makassar
REFERENSI
Badan Standardisasi Instrumen Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 2024. Sertifikat Layak Uji Terap Standar Khusus (SALTRA) Nomor : 117/SALTRA/PHB/7/2024 untuk Standar Pengelolaan Lingkungan Hidup Usaha dan/atau Kegiatan Perhutanan Sosial : Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK).
gokups.menlhk.go.id. 2024. Daftar Kelompok Usaha Perhutanan Sosial. Diakses pada 9 Desember 2024, dari https://gokups.menlhk.go.id.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 2016. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 tentang Perhutanan Sosial. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta.