Analisa Biaya dan Pendapatan Petani Sutera pada Beberapa Teknik Pemeliharaan Ulat Sutera
Bugi Kabul Sumirat
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Budidaya persuteraan alam pernah dicanangkan sebagai kegiatan agroindustri karena proses yang dilaluinya yaitu penanaman murbei, pembibitan ulat sutera, produksi kokon, pemintalan benang sampai dengan pertenunan kain sutera. Perkembangan persuteraan alam masih menunjukkan prospek yang cukup baik, hal ini tergambarkan dari jumlah produksi raw silk dunia yang terus menurun beberapa tahun terakhir, dari 55.222 ton menjadi 52.342 ton, sedangkan kebutuhan dunia cukup besar dan stabil yaitu sebesar 81.546 ton.
Dilihat dari aspek sosial ekonomi petani sutera di Sulawesi Selatan, antara lain pendapatan usaha masih di bawah nilai upah minimum propinsi (rata-rata Rp. 367.000,-/bulan, UMP tahun 2003 Rp.415.000,-/bulan), kelembagaan yang menimbulkan disinsentif, dan pembinaan terhadap petani sutera yang belum optimal. Hal-hal tersebut dapat mempengaruhi kinerja persuteraan alam di Sulawesi Selatan, belum lagi faktor-faktor luar yang mempengaruhi antara lain ketersediaan lahan, persaingan di luar usaha tani sutera alam yang lebih prospektif dan lain-lain (Hasnawir, dkk., 2003).
Sebagai usaha yang prospektif, gambaran usaha budidaya persuteraan alam ini dapat dilihat dari jumlah biaya yang dikeluarkan untuk berinvestasi. Berdasarkan perhitungan/analisa pembiayaan, dalam skala besar, biaya produksi yang harus dikeluarkan untuk luas pengusahaan satu hektar dengan menggunakan pola monokultur adalah Rp. 32,3 juta yang didistribusikan dalam jangka waktu dua tahun. Sementara modal kerja yang diperlukan dalam usaha ini adalah 9,66 juta, sehingga total pengeluaran yang dilakukan secara bertahap dalam kurun waktu dua tahun adalah Rp. 42,03 juta. Sementara penerimaan yang diharapkan sebesar Rp. 89,60 juta, sehingga secara sederhana budidaya ulat sutera dalam satu hektar memerlukan biaya sebesar Rp. 10,54 juta. Sedangkan untuk selanjutnya penerimaan yang akan diperoleh tahap demi tahap akan meningkat seiring dengan volume pemeliharaan ulat sutera yang dilakukan. Pada tahun pertama produksi kokon hanya 200 Kg, dan di tahun kedua sebanyak 600 Kg. sementara pada tahap selanjutnya produksi kokon akan konstan sebesar 750 Kg. Hal ini apabila diasumsikan harga per kilogram kokon sebesar Rp. 20.000, maka penerimaan dari budidaya ulat sutera ini akan terlihat bertahap sesuai dengan tahap jumlah kokon yang dihasilkan (Sihombing, 2004)
Dengan demikian, persuteraan alam di Sulawesi Selatan masih memiliki peluang dan prospek yang baik untuk terus dikembangkan. Potensi dan aset yang dimiliki Sulawesi Selatan untuk menunjang usaha persuteraan tersebut antara lain adalah adanya kesesuaian biofisik, agroklimat, kesesuaian sosial budaya dan adat istiadat setempat, potensi pemasaran dalam dan luar negeri, kemungkinan dikuasainya teknologi pengembangan sutera, dukungan dan komitmen pemerintah untuk terus mengembangkan persuteraan alam.
Namun, kecenderungan petani sutera alam untuk melakukan pemeliharaan ulat sutera yang berbeda-beda sesuai dengan pengetahuan yang didapatnya secara turun temurun maupun berdasarkan faktor kebiasaan masih perlu diketahui perbedaan dari segi pembiayaan yang dikeluarkan maupun tingkat pendapatannya.
Bertitik tolak dari hal tersebut diatas perlu dianalisa biaya dan pendapatan petani sutera pada berberapa teknik pemeliharaan ulat sutera dalam rangka meningkatkan kinerja persuteraan alam pada tingkat produktivitas yang tinggi.
B. Tujuan dan Sasaran
Tujuan dari dilaksanakannya kegiatan penelitian ini adalah untuk: mengetahui tingkat biaya dan pendapatan pada beberapa teknik pemeliharaan ulat sutera yang dilakukan oleh masyarakat.
Sedangkan sasaran penelitian ini adalah tersedianya informasi biaya pemeliharaan dan tersedianya informasi tentang pendapatan petani sutera pada berbagai teknik pemeliharaan ulat sutera oleh masyarakat